I (used to) hate people.
I hate people.
...who underestimated me.
Who said I’m weak,
Who insulted me
Who said I’m fool or I’m slow
Who said that I couldn’t be what they expected me to be
Or said this is not what I’m supposed to be
Or said whatever am I doing is nothing
I hate them who keep saying anything for making me even more
feeling ungrateful with this life
I hate them,
...who weakened me out
---
...Jadi orang yang jarang sakit (re: sakit yang membuatku
harus terbaring dan berhari-hari tanpa mengerjakan aktivitas apapun), sedikit banyak menjadikanku merasa tidak membutuhkan orang lain.
Teman-teman terdekat sering bertanya sebab heran melihatku yang sering
melakukan apa-apa—yang biasanya tidak dilakukan sendiri, sendiri.
Sahabat-sahabat terdekatku semasa kuliah, bahkan pada awalnya menjadi dekat denganku
sebab sering memergokiku makan di kantin kampus sendirian (lol). Aku yakin,
mereka kasihan melihatku, jadilah kami yang berawal dari ‘sering makan bareng’ sangat dekat hingga saat ini. Wkwk.
Di lingkungan yang lain, sebenarnya aku punya banyak teman—aku tidak kuper juga sebenarnya. Aku berteman dengan siapa saja, tapi cenderung pilah pilih dan tetap saja—meskipun ada yang terdekat, aku suka sendirian.
Di lingkungan yang lain, sebenarnya aku punya banyak teman—aku tidak kuper juga sebenarnya. Aku berteman dengan siapa saja, tapi cenderung pilah pilih dan tetap saja—meskipun ada yang terdekat, aku suka sendirian.
Aku masih merasa bahwa aku tidak terlalu membutuhkan banyak orang yang “sangat”
dekat denganku, kecuali mereka benar-benar memahamiku—yang biasanya harus
berteman lama dulu, baru bisa kuanggap mereka benar-benar teman dekat.
Post power syndrom yang melandaku saat kuliah, jadi alasan lainnya yang menjadikanku cenderung semakin membatasi diri. Aku selalu merasa diremehkan
dengan beberapa jenis candaan orang-orang di sekitarku. Wkwk. Aku memang
melankolis—sepertinya Melan-Koleris, lebih tepatnya. Anak baperan yang keras
kepala.
…Tapi,
lagi-lagi—hidup di Pare mengubah persepsiku. Kampung ini memang luar biasa.
Terbaring di
rumah sakit selama hampir seminggu akibat DBD: diurusi orang lain: makan disuapi; dibantu minum obat; diantar ke kamar
mandi; diseka dan dibantu membersihkan badan; ditemani tidur~ awalnya membuatku membenci diri sendiri. Stress—merasa tidak berguna
karena merasa merepotkan orang lain. Tidak sepantasnya aku membiarkan mereka
membantuku segitunya. Aku mengutuk
diriku sendiri hingga tidak sengaja—kulampiaskan kekesalanku kepada mereka.
Hari kedua di rumah sakit, aku bersuara tinggi hingga seakan-akan membentak mereka. Astagfirullah…
Dari pengalaman sakit ini, banyak hikmah yang didapat, diantaranya bahwa aku yang terlau sok sibuk ini tengah diberi waktu istirahat; tentang pentingnya menjaga pola makan dan istirahat; lalu bahwa sehat itu mahal, dan sakit itu sangaaaat tidak enak (huhuhu); dan Allah memang sepertinya tengah merindukanku, Dia mau aku lebih sering-sering dzikir; dan ternyata diinfus itu tidak enak, Esmeraldaaaa. Huhuhu (Selama 24 tahun, ini pertama kalinya aku tahu rasanya diinfus. Di umur 3 tahun, aku pernah 'nyaris meninggal' ketika diopname dengan infus dan selang O2. Tentu aku tidak ingat rasanya bagaimana); yang paling penting, bahwa sama seperti yang lain, aku selalu membutuhkan orang lain. Senyaman-nyamannya sendiri, akan
selalu ada orang-orang baik di sekitarku, yang akan selalu aku butuhkan. Begitupun kamu. Iya, kamu yang lagi baca ini sekarang. Hehehe.
Anyways, terima kasih untuk kalian semua, guys. I love you.
- - -
I know now that they are really kind. People are so kind.And at the end of the day,I after all, need people.
Today I’m sure that I can say I love people.
For whatever they are.
0 comments