Saat
mengetik judul tulisan ini pun, perut saya rasanya masih mules ga
jelas geli-geli gugup ga percaya.
Yes,
I surprisingly passed the test; The freakin’ scholarship I even
hardly dream of. Alhamdulillah.
Hari
itu, 16 September 2019
Sehari
sebelumnya, saya masih di Bandara Sultan Syarif Kasim II Pekanbaru
Riau bersama teman-teman lain yang baru saja menyelesaikan perjalanan
5 hari untuk kegiatan fellowship di Kuala Lumpur dan Dumai,
Riau. Di ruang tunggu bandara, tepat setelah sholat shubuh, selah
satu teman mengingatkan,
"Guys,
kita nih masih dalam safar (perjalanan),
pada doa, yuk mumpung masih di sini. Doa musafir 'tuh Insya
Allah mustajab, loh".
Well,
you guys know exactly what I want to pray for. Saya langsung kepikiran lagi tentang pengumuman hasil tes LPDP besok. Saya pengen banget lulus (YAIYALAH DIL, SEMUA ORANG YANG IKUT TES JUGA MAU LULUS, KALIK!). Dalam hati yang pualiing dalam, saya cukup percaya diri dengan usaha saya sepanjang rangkaian tes kemarin. Rasanya kayak percaya
diri aja, gitu. Tapi, rasanya suara-suara di dalam
kepala saya teriak-teriak sambil noyor kepala sendiri, terus bilang:
"HUSH,
jangan takabur, ngana Dil!".
Sudah
sejak pasca tes wawancara sebenarnya saya mulai terganggu dengan
suara-suara itu. Tapi sekuat tenaga selalu berusaha saya lawan. Saya
sadar betul, bahwa saya sudah seharusnya siap gagal. Saya pasti sedih
dengan hasil ketidaklulusan saya, tapi yang lebih pasti, itulah hasil
yang terbaik. Sudah khatam berkali-kali gagal tiap tes wawancara, soalnya, ceu. he he he..
Btw
ini ngetik sambil nginget-nginget rasanya jadi gugup lagi, cuy.
Akhirnya
saya bilang gini ke teman-teman;
"Guys,
katanya kalo kita ngedoain orang lain, doanya Insya Allah mustajab.
Mumpung kita semua masih safar jadi doanya makin mustajab, tolong
doain besok aku dapat kabar baik, please."
Kembali
ke hari pengumuman yang bikin perut saya berasa mules minta
ampun lantaran terlalu gugup ga karuan. Saya masih ingat
betul rasanya. Setelah seharian gelisah menunda mengecek hasil tes di
situs resmi LPDP, ba’da maghrib Dina minta ditemani wifi-an di
salah satu kafe tidak jauh dari kontrakan. Saya tidak bisa lupa,
rasa kaget minta ampun bercampur bahagia yang sontak bikin saya
teriak menepuk bahu Dina,
setelah membaca tulisan:
“SELAMAT
ANDA TELAH LULUS SELEKSI SUBSTANSI”
Kami
berdua reflek menangis berpelukan saat itu. Segera saya foto bukti kelulusan tersebut dan mengirimnya via chat Whatsapp
ke mama dan papa. Saya sungguh-sunguh tidak bisa lupa perasaan itu—waktu
papa menelepon dengan isak tangis harunya. Belum pernah saya
mendengar langsung sisi diri papa yang seperti ini. Tidak lama kemudian,
terdengar juga suara tangisan mami (Baca: nenek ogut) yang
katanya—ternyata awet hingga menjelang tengah malam. Lalu, Mama
yang walau masih sok tegar, suaranya terdengar bergetar dan malah
bikin saya tambah nangis. Tidak lama setelah itu, Mr.
Koke—kakak kami tercinta menge-chat disusul Kaka Oryn
(Kakak Ipar favorit kami). Setelah menge-chat beberapa
sahabat terdekat, saya nangis lagi saat video
call-an dengan Yaya. Seperti biasa, mention ucapan selamat di
IG-Story lalu bermunculan satu per satu dari keluarga dan sahabat
terdekat.
Tapi,
satu hal penting di tengah euforia yang kami rasakan
saat itu: saya belum sepenuhnya percaya bahwa saya
lulus.
Keesokan
harinya, saya bangun pagi dengan muka super bengong dan
langsung membuka (lagi) situs resmi LPDP untuk mengecek ((lagi))
pengumuman tersebut.
Ini
beneran kalo lulus tulisannya kayak gini?”, Batin saya,
ckckck. Silakan anda tertawakan kepolosan saya, gapapa.
Huhuhu
Menjelang
siang hari, saya menge-chat salah satu sahabat, namanya
Arafat a.ka Bocil—awardee LPDP tahun lalu. Saya
kirim screenshot bukti kelulusan saya, untuk
sekedar ‘membuktikan’ kebenarannya, LOL. Demi
apapun saya masih belum percaya huhuhu.
Setelah ngobrol beberapa
hal sekaligus berterimakasih atas konsultasi tentang LPDP dengan Pak
Bocil, barulah saya agak lega. Tidak lama berselang, saya menerima email resmi dari LPDP berisi ucapan selamat dan beberapa penyampaian khusus untuk para calon penerima beasiswa. Saya betul-betul telah lulus seleksi
substansi; tes tahap akhir di salah satu beasiswa paling bergengsi
untuk anak negeri—LPDP.
Yaampun
saya lulus astagaaaaaaaa *sambil guling-guling*
Alhamdulillah, Allah baik sekali.
Satu
hal yang sampai hari ini masih membuat saya takjub, adalah bahwa
semasa kuliah, saya tidak pernah benar-benar berencana melanjutkan
studi magister. Lebih-lebih melalui jalur beasiswa, apalagi dengan
tujuan kampus luar negeri. Hoh, Napas dulu
cuy. Ngos-ngosan ogut ngetiknya.
Tidak
pernah—sampai akhirnya saya ke Kampung Inggris, Pare. Tempat
bersahaja ini memang tidak akan bisa pernah lepas dari cerita tentang
petualangan saya menemukan diri selama kurang lebih dua tahun ini.
Bertemu sosok-sosok inspiratif dan belajar di tengah-tengah
lingkungan yang sangat suportif di sana, adalah kesempatan yang
sungguh tidak pantas dibilang murah. Kampung Inggris, Global English
dan Keluarga besar TC 13—orang-orang di baliknya benar-benar telah
membentuk saya.
Bukan
apa-apa, menurut saya, semasa kuliah dulu saya bukan tipikal
mahasiswa yang akademik-akademik banget. Jurusan HI memang pilihan
saya sendiri, tapi keputusan ‘alih jalur’ untuk saya yang dulunya
anak IPA yang cinta mampus sama Biologi ini ternyata tidak semudah
yang dibayangkan. Memilih Jurusan HI sekedar karena menyukai isu-isu
global, sepertinya tidak cukup untuk menjadi alasan saya berkembang
secara optimal di kampus. Akibatnya, sebagaimana yang saya tulis
di SINI,
yaaa galau sendiri lantaran bingung mau ke mana setelah lulus kuliah.
Anyway, selama
kuliah, saya beruntung berada di lingkungan yang mendukung.
Setidaknya masih ada motivasi untuk selalu jaga-jaga, nilai jangan
sampai jeblok. Beberapa diantaranya adalah mereka,
sahabat telatan pancen oye yang selalu jadi partner diskusi mata
kuliah—para bodat tercinta (Joa, Aat, Junet, Moza, Pakde Rolin).
Makhluk-makhluk ajaib inilah yang selalu bantuin Dilla
KRS-an online lantaran sinyal internet di Buol yang you-know-how.
Selanjutnya, rekan-rekan tercinta di KOMAHI (Korps Mahasiswa Hubungan
Internasional) UMY. Masa-masa kuliah Dilla bakal suram banget tanpa
kalian. Lalu, senior-senior dan rekan-rekan KPMB-Y yang sejak awal
selalu menyuntikkan semangat mereka. Orang-orang penting di luar
keluarga saya—Kabahar, Yaya, Ingkong, Yanilong, Aldiceu, Shasa,
Waty, Eving, Arya, Ewiceu, Depiceu, Cingku Yana, Didit, Kawawan,
Arini, para Vagong tersayangku, Nanik, Pink, Rika, Jelly, dan mereka
yang tidak bisa saya tulis satu per satu namanya di sini.. Apa
jadinya Dilla tanpa kalian semua?
Eh,
Ini kok malah jadi kayak pidato wisudawan terbaik yak? Wkwk. Ya maap,
dulu cuma jadi wisudawan biasa-biasa aja soalnya. he he he.
Yaaa,
begitulah ceritanya. Saya memang dulunya tidak pernah cukup percaya
diri untuk berencana menyusul senior-senior awardee yang
menurut saya hebat-hebat banget itu. Apalagi beasiswanya dari LPDP
yang katanya, tesnya ribet dan susah banget.
Setelah
kegalauan panjang—yang sempat saya
tulis juga di SINI bulan
April kemarin, akhirnya saya menemukan jawabannya.
Setidaknya, papa juga melihat bahwa keputusan saya ke Pare, yang
awalnya terang-terangan ditentang papa waktu itu memberikan
jawabannya. Bahwa pengalaman saya berkali-kali gagal interview kerja
sebelumnya, bahkan gagal jadi dokter seperti yang mama papa (dan saya) selalu cita-citakan (dari duluuuuu), ternyata berarti satu hal yang sangat kami syukuri hari
ini. Alhamdulillah...
You
did well, Dil. You will do it even better. *hug myself* *guling-guling lagi*
Lulus
LPDP adalah satu hal untuk disyukuri, tapi pelajaran-pelajaran
penting di tengah petualangan menuju ke sini adalah jauh lebih
berarti.
Oya, Ini
sungguh belum ada apa-apanya. Petualangan yang jalannya masih 'sangat
panjang' ini, sungguh baru saja dimulai. Tapi setidak-tidaknya, rasa
putus asa yang seolah tidak ada ujungnya selama tahun-tahun terakhir
ini, akhirnya memberikan jawabannya.
Tulisan
ini untuk kalian semua.
Yang tidak pernah pergi, yang selalu percaya.
xoxo.